Istilah "deep state" makin banyak digunakan dalam wacana politik, beralih dari jurnalisme ke bahasa politik umum. Akan tetapi, istilah itu sendiri menjadi agak samar, dengan berbagai penafsiran yang muncul. Oleh karena itu, penting untuk mencermati lebih dekat fenomena yang digambarkan sebagai "deep state" dan memahami kapan dan di mana konsep ini pertama kali digunakan.
Alexander Dugin berpendapat bahwa meningkatnya konflik di Timur Tengah menandai dimulainya perang global yang lebih besar, karena Iran dan sekutunya menghadapi Israel dan hegemoni Barat, membuka front kedua setelah Ukraina.
Profesor Aleksandr Dugin, seorang filsuf terkemuka Rusia, menyerukan tindakan yang lebih tegas dan berani dalam menghadapi konflik global yang meningkat.
Kecepatan merupakan faktor krusial dalam peperangan modern, yang sering disebut sebagai "dromokrasi" atau aturan kecepatan. Tepat setelah operasi Hamas yang diberi nama "Badai Al-Aqsa," ada Gaza dan tentara Hamas yang ditempatkan di sana.
Jika ada kesamaan dalam tiga teori politik yang dominan di dunia, khususnya di dunia Barat, maka teori tersebut adalah materialisme. Menurut karakterisasi filsuf Rusia Aleksandr Duguin, tiga teori politik Modernitas Barat yang berlaku secara berurutan adalah:
Filsuf dan analis politik Rusia Alexander Dugin (Dugin) , yang oleh beberapa media Barat disebut sebagai "otak Putin", adalah salah satu cendekiawan paling kontroversial di Rusia dan kini telah bergabung dengan platform media sosial Tiongkok seperti Sina Weibo dan Bilibili, untuk mencari lebih banyak dan lebih banyak lagi. komunikasi yang lebih dalam dengan pengguna web dan cendekiawan Tiongkok.
Although the concept of hegemony in Critical Theory is based on Antonio Gramsci’s theory, it is necessary to distinguish this concept’s position on Gramscianism and neo-Gramscianism from how it is understood in the realist and neo-realist schools of IR.
The classical realists use the term “hegemony” in a relative sense and understand it as the “actual and substantial superiority of the potential power of any state over the potential of another one, often neighboring countries.” Hegemony might be understood as a regional phenomenon, as the determination of whether one or another political entity is considered a “hegemon” depends on scale. Thucydides introduced the term itself when he spoke of Athens and Sparta as the hegemons of the Peloponnesian War, and classical realism employs this term in the same way to this day. Such an understanding of hegemony can be described as “strategic” or “relative.”
In neo-realism, “hegemony” is understood in a global (structural) context. The main difference from classical realism lies in that “hegemony” cannot be regarded as a regional phenomenon. It is always a global one. The neorealism of K. Waltz, for example, insists that the balance of two hegemons (in a bipolar world) is the optimal structure of power balance on a world scale[ii]. R. Gilpin believes that hegemony can be combined only with unipolarity, i.e., it is possible for only a single hegemon to exist, this function today being played by the USA.
In both cases, the realists comprehend hegemony as a means of potential correlation between the potentials of different state powers.
Gramsci's understanding of hegemony is completely different and finds itself in a completely opposite theoretical field. To avoid the misuse of this term in IR, and especially in the TMW, it is necessary to pay attention to Gramsci’s political theory, the context of which is regarded as a major priority in Critical Theory and TMW. Moreover, such an analysis will allows us to more clearly see the conceptual gap between Critical Theory and TMW.